A.
Sejarah lahirnya Khawarij dan Pembagiannya
Khawarij adalah
bentuk jamak dari “kharij” dan berasal dari akar kata “kharaja” yang berarti
keluar, Kata keluar bermaksud “walk out” dari patuh dan loyal kepada pemimpin
atau Imam yang sah, seorang khawarij mendemonstrasikan keingkarannya dan
membentuk wilayah sendiri yang eksklusif.
Ulama Fiqih menyebut Khawarij dengan Istilah “al-Baghi” atau pembangkang. Khawarij adalah sekelompok kaum
yang keluar dari barisan Ali bin AbiThalib, karena mereka tidak setuju dengan
upaya Tahkim/ arbitrase[1] dalam rangka mencapai perdamaian dalam perang
shiffin. keluarnya khawarij dari barisan Ali ibarat keluarnya anak panah dari
busurnya. Al-Khawarij lahir dari konflik yang terjadi pada masa Ali bin abi
Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, konflik tersebut tidak bisa diselesaikan,
peristiwa tersebut berawal dari keinginan Ali sebagai Khalifah yang sah untuk mereshufle
semua gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman bin Affan, tetapi Mu’awiyyah
selaku Gubernur Siria menolak dan tidak mentaati keputusan Ali, sehingga terjadilah
konflik antara keduanya, selanjutnya Mu’awiyyah menuntut Ali segera menemukan
dan menangkap dan menghukum para pelaku pembunuhan Usman, maka tidak ada
alternative lain bagi Ali bi n Abi thalib kecuali memerangi Muawiyyah yang dianggapnya
sebagai pembangkang.
Sebanyak
50.000 balatentara dipersiapkan Alibin abi thalib berangkat menuju utara tempat
tersebut bernama shifin, dan bertemu dengan pasukan Muawiyyah yang berjumlah
80.000, peperanganpun Terjadi, dengan kemenangan dipihak Ali, melalui juru
runding Amr bin Ash, Muawiyyah meminta
Ali berdamai dan menghentikan peperangan, kemudian kedua pihak sepakat
mengakhiri peperangan dan selanjutnya melaksanakan perundingan (arbitrase Dalam
pelaksanaannya arbitrase yang dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib dengan
Muawiyyah bin Abi Sofyan di tunjuklah juru bicara masingmasing dari pihak
Muawiyyah ditunjuklah Amr ibnu Ash, sementara pihak Ali menginginkan Abdullah
Ibni Abbas, tetapi ditolak oleh pasukannya, sehingga pilihan suara terbanyak
mengarah kepada Abu Musa AL-As’aryi, walaupun sebenarnya Ali tidak menginginkan
Abu Musa al-Asarii Dari fakta diatas jelas bagi kita, bahwa dari kedua sosok
perunding tersebut terdapat kepentingan yang bertolak belakang.
Amr
bin Ash sangat berkepentingan dalam melanggengkan status quonya, dengan
Muawiyyah selain hubungan keluarga, sementara Abu Musa AL-As’aryi ia tidak
memiliki hubungan darah dengan Ali dan juga tidak ada kepentingan politis,
karena ia merupakan korban dari Ali dalam meresufle gubernur dan digantikan
oleh Ammarah ibnu Syhihab, namun pergantian tersebut ditolak oleh penduduk
Kuffah, dan tetap mempertahankan Abu Musa AL-As’aryi.
Dengan
demikian tidak mengherankan Amr bin Ash mati matian membela Muawiyyah sementara
Abu Musa AL-As’aryi tidak, inilah indikasi kekalahan dalam arbitrase tesebut,
arbitrase tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan 37H (Januari 659M) di suatu
tempat yang bernama Dumat al-Jandal, antara Madinah dan Damaskus, adapun materi
perundingan tersebut ada dua yaitu Siapa yang tepat menjadi Khalifah dan apakah
Usman terbunuh secara zalim, setelah upaya lobi dan upaya serius yang ditempuh
oleh Amr bin Ash, akhirnya berhasil meyakinkan Abu Musa Al-As’aryi, sehingga
lahirlah keputusan bahwa Usman terbunuh secara zalim dan Muawiyah pantas
menuntut balas atas kematiannya[2],
Abu Musa al-Asari menginginkan Abdullah bin Umar sebagai Khalifah, sementara
Amr bin Ash menginginkan Muawiyyah bin Abi Sofyan, karena tidak tercapai
kesepakatan maka masing-masing perunding memutuskan menjatuhkan Ali dan
Muawiyyah dari jabatannya dan selanjutnya keputusan diserahkan kepada umat
Islam.
Pada saat hasil perundingan yang telah
disetujui itu diumumkan kepada umat Islam, pada saat Amr bin Ash tampil dalam
penyampaian keputusan tersebut mengeluarkan pernyataan bahwa Muawiyyah
ditetapkan sebagai Khalifah, pernyataan tersebut menimbulkan suasana gaduh dan
kerkecewaan dikalangan umat Islam[3]. Dari
peristiwa ini jelas bagi kita bahwa Arbitrase bagi Muawiyyah hanyalah sebuah
upaya untuk menghindari kekalahan waktu berperang dan untuk merebut posisi
khalifah, maka keputusan Amr bin Ash tersebut ditolak oleh Ali karena sudah
menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, oleh karena dia
menyatakan dirinya tetap sebagai Khalifah dan Muawiyyah sebagai pembangkang[4] Keadaan
setelah peristiwa tersebut semakin tidak stabil dan menjadikan umat islam
berada dalam ketidak stabilan, sebagian umat menyalahkan Ali kenapa mau
menerima Abitrase bahkan ada juga yang mengkafirkan Ali, namun ada juga
pengikut Ali yang tetap mendukung Ali dan tidak menyalahkannya sedikitpun, ada
juga yang bersikap netral, seja itulah islam tebagi kepada beberapa sekte.
Pendukung
setia Ali adalah orang-orang yang pertama mempersalahkan dalam menerima tawaran
tahkim, karena menurut mereka arbitrase tidak sesuai dengan syari’at islam,
bahkan mereka menyatakan setiap orang yang terlibat dalam Tahkim tersebut
adalah kafir, golongan inilah yang dinamakan dengan sekte al-Khawarij. Mereka memilih Jargon dan ungkapan yang menjadi landasan utama dari
membentuk barisan mereka yaitu” Tidak ada hukum
kecuali hukum dari Allah”. Oleh karena itu mereka menganggap Ali dan
Mu’awiyyah telah menyimpang dari Islam. Landasan atau Jargon Khawarij ini
diambil dari firman Allah Swt yang terdapat dalam surat al-Ma’idah ayat 44 :
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöqG9$# $pkÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 cqÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór& tûïÏ%©#Ï9 (#rß$yd tbqÏY»/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà 4 xsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur wur (#rçtIô±n@ ÓÉL»t$t«Î/ $YYyJrO WxÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di
dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu
diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan
mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Berdasarkan ayat ini, maka mereka menjatuhkan
vonis kepada Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Musa al-‘Asaryi
dan Amr bi Ash sebagai Kafir, setelah itu teology khawarij mengalami perkembangan
dalam mengkategorikan sesorang itu kafir, seperti setiap pelaku dosa besar juga
dianggap kafir[5].
Arbitrase ini berakibat kepada hilangnya dukungan dari pengikut Ali yang militant
dan marah dengan upaya Tahkim tersebut.
Mereka membentuk
kelompok yang bernama “al-Syurat” yaitu : Orang-orang yang menjual diri secara
totalitas kepada Allah dan rela berkorban demi Agama yang benar[6]. Maka
sebutan al-Syurat nama lain dari al-khawarij itu sekaligus memberikan gambaran
tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat, dengan
sendirinya kelompok ini berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstrim dan
militansi yang tinggi, sehingga tidak terhindari lagi membawa mereka kepada situasi
yang mudah sekali terpecah dan saling bermusuhan dan akhirnya melenyapkan
mereka sendiri.
Egalitarinisme yang
radikal dari kelompol ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosial dan
poloitik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam yang diletakkan
oleh Rasulullah saw dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi
bangsa-bangsa. Namun karena cita-cita tersebut dibawa dengan militantsi yang
tidak terkendali, konsep tersebut melahirkan hijrah; yaitu semua orang harus
menyingkir dari tatanan yang mapan dan bergabung dengan mereka atas dasar Iman
yang benar, korban yang menjadi target utama mereka adalah Ali ra sendiri,
tokoh yang pernah mereka sanjung dan kultuskan namun akhirnya mereka habisi
dalam drama pembunuhan akibat factor politis.
Al-khawarij terkenal dengan kekerasan dalam berprinsip, mereka
tidak mau berkompromi dalam hal penyimpangan agama selain dari ajaran Islam
yang mereka yakini. Prinsip tersebut terbawa-terbawa daripada sejarah kaum
khawarij itu sendiri. Mereka umumnya kaum badui yang hidup di padang pasir
tandus, kehidupan sehari-hari mereka menyebabkan mereka menjadi pemberani,
tegas dan tidak mau bergantung kepada orang lain. Disisi lain pula kehidupan
sebagai badui membuat mereka terus semakin jauh dari ilmu Islam, oleh karena
itu mereka memahami al-Qur’an dan hadis secara harfiah saja. Akibat dari
aktifitas mereka yang selalu merongrong tatanan dan aturan Islam yang sudah
mapan mereka juga di gelar sebagai kaum “al-hururiyun” Nisbah kepada Oase
al-Hurura dekat Kufah (Markas mereka). Seperti dikatakan tadi mereka ini
mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) karena watak mereka
yang ekstrim, akibatnya mereka perlahan-lahan punah dan hampir
hilang dari peta umat Islam hingga saat ini. Walaupun secara fisik khawarij
hilang dari peta umat islam saat ini, namun pada hakikatnya secara doktrinal
justru dia tetap hidup dan dipakai pada faham-faham keagamaan yang saat ini
berkembang.
B.
Pemikran
dan gaya Penafsiran al-Khawarij terhadap ayat al-Qur’an
Perkembangan
pemikiran sekte al-Khawarij berikutnya adalah masalah kedaulatan Tuhan, artinya
kewenangan bersumber dari Tuhan. Dengan kata lain otoritas yang berada ditangan manusia itu pada prinsipnya
melaksanakan otoritas Tuhan, terutama
dalam hal mempertahankan eksistensi Syari’at. Pelembagaan itu pada hakikatnya merealisasikan keadilan itu berada ditangan
kehidupan umat. Untuk
menciptakan kelestarian syari’at dan keadilan diperlukan adanya sesuatu kekuatan politik yang dikendalikan oleh seorang penguasa yang
mendapat legalitas dari
umat. Doktrin
al-Khawarij ini pada hakikatnya bermaksud meletakkan otoritas Tuhan di atas semua manusia. Iman adalah
palaksanaan perintah Tuhan,
inilah sebabnya mereka berbicara tentang “al-Bai’ah lillah”[7] Dalam aspek penafsiran terhadap ayat al-Qur’an al-Khawarij tidak memiliki kedalaman ilmu tentang Takwil dan mereka juga tidak mau
peduli terhadap apa
maksud sebenarnya dari makna ayat -ayat tersebut, mereka juga tidak membebani diri mereka dengan sikap yang serius dan
sungguh-sungguh untuk mencari
maksud yang menjadi sasaran dari makna ayat al-Qur’an dan begitu juga bagaimana pula rahasia-rahasia yang terdapat dibalik
ayat-ayat tersebut,
tetapi mereka hanya terhenti dan terbatas kepada tataran lafziah saja. Al-khawarij mempunyai pandangan dangkal
pada ayat-ayat al-Qur’an, kadang-kadang ayat yang mereka fahami itu tidak
sesuai dengan maksud sebenarnya dari ayat tersebut, dan juga tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan ayat yang mereka jadikan sebagai dalil untuk
melegitimasi pendapat mereka, karena mereka hanya sebatas memahami ayat secara
zahir yang batil[8]
Di kalangan al-Khawarij sendiri, terdapat banyak mazhab-mazhab yang mempunyai
pemikiran atau pendapat yang berbeda satu dan lainnya.
Namun demikian mereka tetap menisbahkan pendapat mereka itu kepada
Islam,mereka semua mengakui
al-Qur’an. Di dalam setiap ajaran dan untuk memperkuat pendapat, mereka selalu menjadikan al-Qur’an sebagai dasar pijakan
dan dasar untuk
menumbuhkan keyakinan mereka, namun hanya terkait kepada ayat-ayat yang bisa mendukung
pendapat mereka, untuk ayat ini mereka akan tetap mempertahankannya, sebaliknya jka persoalan tersebut tidak
bersesuaian dengan pendapat dan
pendirian serta kepentingan mereka, mereka berupaya sekuat tenaga untuk lepas dan mulai memalingkan dan mentakwilkan ayat al-Qur’an
sehingga tidak
bertentangan dengan pendapat mereka[9] Diantara mazhab-mazhab dalam sekte
al-Khawarij adalah sebagai berikut :
·
Azraqiah, merupakan pengikut dari Nafi’ bin al-Azraq,
Mazhab ini memiliki beberapa prinsip seperti : Mereka mengkafirkan selain dari
kelompok mereka, haram mengkosumsi sembelihan dari selain kelompok mereka, dan
juga haram menikahi yang bukan dari kelompok mereka, dan tidak boleh mendapat
warisan selain dari kelompok mereka, dan bermu’amalah dengan selain kelompok mereka
sama dengan bermua’malah antara orang kafir dengan orang musrik
·
Al-Najdad, merupakan pengikut Najdah bin Amir, diantara
prinsip mereka adalah : Tidak ada keperluan manusia kepada Imam selama-lamanya,
namun sekiranya umat memerlukan pemimpin maka perlu diangkat, jika tidak
diperlukan, maka tidak boleh diangkat
·
Al-Safariyyah, merupakan pengikut Ziyad bin al-Asfar,
diantara prinsip mereka adalah pelaku dosa besar adalah Musrik, namun ada
diantara mereka mengatakan bahwa setiap pelaku dosa sudah disediakan had nya
dalam Syari’ah, pelakunya tidak dikatakan Musrik ataupun Musrik, tetapi
dinamakan sesuai dengan dosa yang mereka lakukan
·
Al-Ibadhiah, merupakan pengikut Abdullah bin Ibad,
kelompok ini adalah yang paling sederhana/moderat dan ajarannya mendekati faham
ahlu Sunnah wal Jama’ah, seperti : Sebagai contoh, kita bisa lihat, bahwa
sesungguhnya mayoritas kalangan mazhabmazhab dari sekte al-Khawarij ini setuju
bahawa pelaku dosa besar disebut ”kafir” dan mereka kekal di dalam neraka
Jahannam, pendapat ini merupakan pendapat dan prinsip umum dari al-Khawarij,
dan semua mazhab tunduk dibawah prinsip ini dan tidak akan pernah berubahxi
[1]
Arbitrase adalah usaha dalam mewujudkan perdamaian sengketa antara dua orang
atau kelompok yang berikai dan mereka sepakat untuk menunjuk seseorang yang
mereka perangi untuk ,menyelesaikan sengkerta yang terjadi antara mereka, dan
keputusan dari kedua pihak harus dipatuhi dan dijalankan, hakim yang ditunjuk
untuk menyelesaikatan sengketa tersebut tidak dari kalangan pemerinta namun
kal;angan swasta (lihat Stria Efendi, M Zein, Arbitrase dalam Syari’at Islam,
jurnal hokum Islam, No 16 1994, h.53.
[2]
M.Jamaludin Surur, Al-Hidayah al-Siyasah fi al-Daulah al-Arabiyyah
al-Islamiyyah, Kairo, Darel Fikri
al-Arabi, 1975, h,69
[3]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, jilid 1, Jakarta, UI
Presss, 1985. h.94
[4]
M.Jamaludin Surur, Opcit, h.83
[5] Yayasan
Dakwah Islamiayah Malaysia, Ensiklopedi Islam Pelajar, Penerbit Era Visi
Publications Sdb
Bhd, h. 95
[6] Muhammad
Husain al-dzahabi, Al-Ittihad al-Munhariffah fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Darul
Ihya al
Turats al-Arabi, Beirut, tt, h. 165
[7] Nuruzzaman
Shidqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Prespektif Sejarah, Yogyakarta, PLP2M,
1985, h. 76.
[8] Muhammad
Husain Al-Zahabi, al-Taafsir wa al-Mufassirun, Maktabah wahbah, Kairo,
Juz 2, h.229
[9] Ibnu
Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis, Kurdisan. H.231
Sedikit mengkritik tentang judulnya, anda agak sedikit arogan, dengan mengatakan kata "bahaya", jika anda berpikir khowarij itu "salah" karena tidak sepaham dengan anda, berarti anda juga salah satu dari khowarij dong?. Karena sama2 menyalahkan orang yang tidak sepaham dengan mereka.
ReplyDeleteTentang sejarahnya kurang lengkap
Alangkah lebih baik runutnya,kalau anda memulai dari syi'ah, bukan dari khawarij
Karena segala perpecahan berawal dari syi'ah
Lantas, jika anda mau nulis satu tulisan tamtang suatu aliran atw paham, tolong jangan hanya baca referensi yang kontra dengan paham tersebut.
Alangkah lebih bijaksananya, jika anda membaca juga referensi yang Pro dengan paham tersebut, jadi akan lebih objektif hasilnya, dan akan terlihat lebih fear.
terlebih khowarij juga islam, beriman pada Alloh dan hari akhir. Sebejad-bejadnya paham islam, pasti masih ada kebaikan dan manfaatnya bagi kita sesama muslim. Toh, pada dasarnya, tidak ada sunni, tidak ada syi'ah, tidak ada khowarij, wahabi, mu'tajilah, dan lain2. Yang ada cuma satu...yaitu islam
Terima kasih
Good luck utk tulisanya di kemudian hari
Salam sajiwa by: Agi Muhammad