Breaking News

Wednesday, 10 September 2014

zakat mal dalam game

seorang guru yang bernama komarudin,S.PdI adalah salah satu guru PAI di SMP Darul Falah Cihampelas Cililin.saya ( komarudin ) mencoba menciptakan sebuah game untuk anak-anak muslim, di mana game ini membantu anak-anak muslim belajar banyak tentang zakat mal. memang pembuatan game (zakat table) ini terinsfirasi dari game monofoli yang sering di mainkan oleh anak-anak.
ini sangat memudahkan guru PAI yang mengajar tentang bab zakat, anak-anak pun senang dengnan belajar seperti ini. klo mau pesan game ini hub.087820085356 atau pin 74dade10.harga sangat murah!!!
Read more ...

Tuesday, 2 September 2014

BAHAYA!! khawarij mati oraganisasinya hidup pahamnya.



A.    Sejarah lahirnya Khawarij dan Pembagiannya

            Khawarij adalah bentuk jamak dari “kharij” dan berasal dari akar kata “kharaja” yang berarti keluar, Kata keluar bermaksud “walk out” dari patuh dan loyal kepada pemimpin atau Imam yang sah, seorang khawarij mendemonstrasikan keingkarannya dan membentuk wilayah sendiri yang eksklusif.
            Ulama Fiqih menyebut Khawarij dengan Istilah “al-Baghi” atau pembangkang. Khawarij adalah sekelompok kaum yang keluar dari barisan Ali bin AbiThalib, karena mereka tidak setuju dengan upaya Tahkim/ arbitrase[1] dalam rangka mencapai perdamaian dalam perang shiffin. keluarnya khawarij dari barisan Ali ibarat keluarnya anak panah dari busurnya. Al-Khawarij lahir dari konflik yang terjadi pada masa Ali bin abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, konflik tersebut tidak bisa diselesaikan, peristiwa tersebut berawal dari keinginan Ali sebagai Khalifah yang sah untuk mereshufle semua gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman bin Affan, tetapi Mu’awiyyah selaku Gubernur Siria menolak dan tidak mentaati keputusan Ali, sehingga terjadilah konflik antara keduanya, selanjutnya Mu’awiyyah menuntut Ali segera menemukan dan menangkap dan menghukum para pelaku pembunuhan Usman, maka tidak ada alternative lain bagi Ali bi n Abi thalib kecuali memerangi Muawiyyah yang dianggapnya sebagai pembangkang.
            Sebanyak 50.000 balatentara dipersiapkan Alibin abi thalib berangkat menuju utara tempat tersebut bernama shifin, dan bertemu dengan pasukan Muawiyyah yang berjumlah 80.000, peperanganpun Terjadi, dengan kemenangan dipihak Ali, melalui juru runding Amr bin Ash,  Muawiyyah meminta Ali berdamai dan menghentikan peperangan, kemudian kedua pihak sepakat mengakhiri peperangan dan selanjutnya melaksanakan perundingan (arbitrase Dalam pelaksanaannya arbitrase yang dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sofyan di tunjuklah juru bicara masingmasing dari pihak Muawiyyah ditunjuklah Amr ibnu Ash, sementara pihak Ali menginginkan Abdullah Ibni Abbas, tetapi ditolak oleh pasukannya, sehingga pilihan suara terbanyak mengarah kepada Abu Musa AL-As’aryi, walaupun sebenarnya Ali tidak menginginkan Abu Musa al-Asarii Dari fakta diatas jelas bagi kita, bahwa dari kedua sosok perunding tersebut terdapat kepentingan yang bertolak belakang.
            Amr bin Ash sangat berkepentingan dalam melanggengkan status quonya, dengan Muawiyyah selain hubungan keluarga, sementara Abu Musa AL-As’aryi ia tidak memiliki hubungan darah dengan Ali dan juga tidak ada kepentingan politis, karena ia merupakan korban dari Ali dalam meresufle gubernur dan digantikan oleh Ammarah ibnu Syhihab, namun pergantian tersebut ditolak oleh penduduk Kuffah, dan tetap mempertahankan Abu Musa AL-As’aryi.
            Dengan demikian tidak mengherankan Amr bin Ash mati matian membela Muawiyyah sementara Abu Musa AL-As’aryi tidak, inilah indikasi kekalahan dalam arbitrase tesebut, arbitrase tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan 37H (Januari 659M) di suatu tempat yang bernama Dumat al-Jandal, antara Madinah dan Damaskus, adapun materi perundingan tersebut ada dua yaitu Siapa yang tepat menjadi Khalifah dan apakah Usman terbunuh secara zalim, setelah upaya lobi dan upaya serius yang ditempuh oleh Amr bin Ash, akhirnya berhasil meyakinkan Abu Musa Al-As’aryi, sehingga lahirlah keputusan bahwa Usman terbunuh secara zalim dan Muawiyah pantas menuntut balas atas kematiannya[2], Abu Musa al-Asari menginginkan Abdullah bin Umar sebagai Khalifah, sementara Amr bin Ash menginginkan Muawiyyah bin Abi Sofyan, karena tidak tercapai kesepakatan maka masing-masing perunding memutuskan menjatuhkan Ali dan Muawiyyah dari jabatannya dan selanjutnya keputusan diserahkan kepada umat Islam.
             Pada saat hasil perundingan yang telah disetujui itu diumumkan kepada umat Islam, pada saat Amr bin Ash tampil dalam penyampaian keputusan tersebut mengeluarkan pernyataan bahwa Muawiyyah ditetapkan sebagai Khalifah, pernyataan tersebut menimbulkan suasana gaduh dan kerkecewaan dikalangan umat Islam[3]. Dari peristiwa ini jelas bagi kita bahwa Arbitrase bagi Muawiyyah hanyalah sebuah upaya untuk menghindari kekalahan waktu berperang dan untuk merebut posisi khalifah, maka keputusan Amr bin Ash tersebut ditolak oleh Ali karena sudah menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, oleh karena dia menyatakan dirinya tetap sebagai Khalifah dan Muawiyyah sebagai pembangkang[4] Keadaan setelah peristiwa tersebut semakin tidak stabil dan menjadikan umat islam berada dalam ketidak stabilan, sebagian umat menyalahkan Ali kenapa mau menerima Abitrase bahkan ada juga yang mengkafirkan Ali, namun ada juga pengikut Ali yang tetap mendukung Ali dan tidak menyalahkannya sedikitpun, ada juga yang bersikap netral, seja itulah islam tebagi kepada beberapa sekte.
            Pendukung setia Ali adalah orang-orang yang pertama mempersalahkan dalam menerima tawaran tahkim, karena menurut mereka arbitrase tidak sesuai dengan syari’at islam, bahkan mereka menyatakan setiap orang yang terlibat dalam Tahkim tersebut adalah kafir, golongan inilah yang dinamakan dengan sekte al-Khawarij. Mereka memilih Jargon dan ungkapan yang menjadi landasan utama dari membentuk barisan mereka yaitu” Tidak ada hukum kecuali hukum dari Allah”. Oleh karena itu mereka menganggap Ali dan Mu’awiyyah telah menyimpang dari Islam. Landasan atau Jargon Khawarij ini diambil dari firman Allah Swt yang terdapat dalam surat al-Ma’idah ayat 44 :
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöq­G9$# $pkŽÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 šcqŠÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór& tûïÏ%©#Ï9 (#rߊ$yd tbqŠÏY»­/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%Ÿ2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà­ 4 Ÿxsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur Ÿwur (#rçŽtIô±n@ ÓÉL»tƒ$t«Î/ $YYyJrO WxŠÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  
44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.


Berdasarkan ayat ini, maka mereka menjatuhkan vonis kepada Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Musa al-‘Asaryi dan Amr bi Ash sebagai Kafir, setelah itu teology khawarij mengalami perkembangan dalam mengkategorikan sesorang itu kafir, seperti setiap pelaku dosa besar juga dianggap kafir[5]. Arbitrase ini berakibat kepada hilangnya dukungan dari pengikut Ali yang militant dan marah dengan upaya Tahkim tersebut.
            Mereka membentuk kelompok yang bernama “al-Syurat” yaitu : Orang-orang yang menjual diri secara totalitas kepada Allah dan rela berkorban demi Agama yang benar[6]. Maka sebutan al-Syurat nama lain dari al-khawarij itu sekaligus memberikan gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat, dengan sendirinya kelompok ini berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstrim dan militansi yang tinggi, sehingga tidak terhindari lagi membawa mereka kepada situasi yang mudah sekali terpecah dan saling bermusuhan dan akhirnya melenyapkan mereka sendiri.
            Egalitarinisme yang radikal dari kelompol ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosial dan poloitik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam yang diletakkan oleh Rasulullah saw dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi bangsa-bangsa. Namun karena cita-cita tersebut dibawa dengan militantsi yang tidak terkendali, konsep tersebut melahirkan hijrah; yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan yang mapan dan bergabung dengan mereka atas dasar Iman yang benar, korban yang menjadi target utama mereka adalah Ali ra sendiri, tokoh yang pernah mereka sanjung dan kultuskan namun akhirnya mereka habisi dalam drama pembunuhan akibat factor politis.
            Al-khawarij terkenal dengan kekerasan dalam berprinsip, mereka tidak mau berkompromi dalam hal penyimpangan agama selain dari ajaran Islam yang mereka yakini. Prinsip tersebut terbawa-terbawa daripada sejarah kaum khawarij itu sendiri. Mereka umumnya kaum badui yang hidup di padang pasir tandus, kehidupan sehari-hari mereka menyebabkan mereka menjadi pemberani, tegas dan tidak mau bergantung kepada orang lain. Disisi lain pula kehidupan sebagai badui membuat mereka terus semakin jauh dari ilmu Islam, oleh karena itu mereka memahami al-Qur’an dan hadis secara harfiah saja. Akibat dari aktifitas mereka yang selalu merongrong tatanan dan aturan Islam yang sudah mapan mereka juga di gelar sebagai kaum “al-hururiyun” Nisbah kepada Oase al-Hurura dekat Kufah (Markas mereka). Seperti dikatakan tadi mereka ini mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) karena watak mereka yang ekstrim, akibatnya mereka perlahan-lahan punah dan hampir hilang dari peta umat Islam hingga saat ini. Walaupun secara fisik khawarij hilang dari peta umat islam saat ini, namun pada hakikatnya secara doktrinal justru dia tetap hidup dan dipakai pada faham-faham keagamaan yang saat ini berkembang.

B.     Pemikran dan gaya Penafsiran al-Khawarij terhadap ayat al-Qur’an

            Perkembangan pemikiran sekte al-Khawarij berikutnya adalah masalah kedaulatan Tuhan, artinya kewenangan bersumber dari Tuhan. Dengan kata lain otoritas yang berada ditangan manusia itu pada prinsipnya melaksanakan otoritas Tuhan, terutama dalam hal mempertahankan eksistensi Syari’at. Pelembagaan itu pada hakikatnya merealisasikan keadilan itu berada ditangan kehidupan umat. Untuk menciptakan kelestarian syari’at dan keadilan diperlukan adanya sesuatu kekuatan politik yang dikendalikan oleh seorang penguasa yang mendapat legalitas dari umat.      Doktrin al-Khawarij ini pada hakikatnya bermaksud meletakkan otoritas Tuhan di atas semua manusia. Iman adalah palaksanaan perintah Tuhan, inilah sebabnya mereka berbicara tentang “al-Bai’ah lillah”[7] Dalam aspek penafsiran terhadap ayat al-Qur’an al-Khawarij tidak memiliki kedalaman ilmu tentang Takwil dan mereka juga tidak mau peduli terhadap apa maksud sebenarnya dari makna ayat -ayat tersebut, mereka juga tidak membebani diri mereka dengan sikap yang serius dan sungguh-sungguh untuk mencari maksud yang menjadi sasaran dari makna ayat al-Qur’an dan begitu juga bagaimana pula rahasia-rahasia yang terdapat dibalik ayat-ayat tersebut, tetapi mereka hanya terhenti dan terbatas kepada tataran lafziah saja. Al-khawarij mempunyai pandangan dangkal pada ayat-ayat al-Qur’an, kadang-kadang ayat yang mereka fahami itu tidak sesuai dengan maksud sebenarnya dari ayat tersebut, dan juga tidak memiliki hubungan sama sekali dengan ayat yang mereka jadikan sebagai dalil untuk melegitimasi pendapat mereka, karena mereka hanya sebatas memahami ayat secara zahir yang batil[8] Di kalangan al-Khawarij sendiri, terdapat banyak mazhab-mazhab yang mempunyai pemikiran atau pendapat yang berbeda satu dan lainnya.
            Namun demikian mereka tetap menisbahkan pendapat mereka itu kepada Islam,mereka semua mengakui al-Qur’an. Di dalam setiap ajaran dan untuk memperkuat pendapat, mereka selalu menjadikan al-Qur’an sebagai dasar pijakan dan dasar untuk menumbuhkan keyakinan mereka, namun hanya terkait kepada ayat-ayat yang bisa mendukung pendapat mereka, untuk ayat ini mereka akan tetap mempertahankannya, sebaliknya jka persoalan tersebut tidak bersesuaian dengan pendapat dan pendirian serta kepentingan mereka, mereka berupaya sekuat tenaga untuk lepas dan mulai memalingkan dan mentakwilkan ayat al-Qur’an sehingga tidak bertentangan dengan pendapat mereka[9] Diantara mazhab-mazhab dalam sekte al-Khawarij adalah sebagai berikut :
·         Azraqiah, merupakan pengikut dari Nafi’ bin al-Azraq, Mazhab ini memiliki beberapa prinsip seperti : Mereka mengkafirkan selain dari kelompok mereka, haram mengkosumsi sembelihan dari selain kelompok mereka, dan juga haram menikahi yang bukan dari kelompok mereka, dan tidak boleh mendapat warisan selain dari kelompok mereka, dan bermu’amalah dengan selain kelompok mereka sama dengan bermua’malah antara orang kafir dengan orang musrik
·         Al-Najdad, merupakan pengikut Najdah bin Amir, diantara prinsip mereka adalah : Tidak ada keperluan manusia kepada Imam selama-lamanya, namun sekiranya umat memerlukan pemimpin maka perlu diangkat, jika tidak diperlukan, maka tidak boleh diangkat
·         Al-Safariyyah, merupakan pengikut Ziyad bin al-Asfar, diantara prinsip mereka adalah pelaku dosa besar adalah Musrik, namun ada diantara mereka mengatakan bahwa setiap pelaku dosa sudah disediakan had nya dalam Syari’ah, pelakunya tidak dikatakan Musrik ataupun Musrik, tetapi dinamakan sesuai dengan dosa yang mereka lakukan
·         Al-Ibadhiah, merupakan pengikut Abdullah bin Ibad, kelompok ini adalah yang paling sederhana/moderat dan ajarannya mendekati faham ahlu Sunnah wal Jama’ah, seperti : Sebagai contoh, kita bisa lihat, bahwa sesungguhnya mayoritas kalangan mazhabmazhab dari sekte al-Khawarij ini setuju bahawa pelaku dosa besar disebut ”kafir” dan mereka kekal di dalam neraka Jahannam, pendapat ini merupakan pendapat dan prinsip umum dari al-Khawarij, dan semua mazhab tunduk dibawah prinsip ini dan tidak akan pernah berubahxi









[1] Arbitrase adalah usaha dalam mewujudkan perdamaian sengketa antara dua orang atau kelompok yang berikai dan mereka sepakat untuk menunjuk seseorang yang mereka perangi untuk ,menyelesaikan sengkerta yang terjadi antara mereka, dan keputusan dari kedua pihak harus dipatuhi dan dijalankan, hakim yang ditunjuk untuk menyelesaikatan sengketa tersebut tidak dari kalangan pemerinta namun kal;angan swasta (lihat Stria Efendi, M Zein, Arbitrase dalam Syari’at Islam, jurnal hokum Islam, No 16 1994, h.53.
[2] M.Jamaludin Surur, Al-Hidayah al-Siyasah fi al-Daulah al-Arabiyyah al-Islamiyyah, Kairo, Darel Fikri
al-Arabi, 1975, h,69
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, jilid 1, Jakarta, UI Presss, 1985. h.94
[4] M.Jamaludin Surur, Opcit, h.83
[5] Yayasan Dakwah Islamiayah Malaysia, Ensiklopedi Islam Pelajar, Penerbit Era Visi Publications Sdb
Bhd, h. 95
[6] Muhammad Husain al-dzahabi, Al-Ittihad al-Munhariffah fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Darul Ihya al
Turats al-Arabi, Beirut, tt, h. 165
[7] Nuruzzaman Shidqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Prespektif Sejarah, Yogyakarta, PLP2M, 1985, h. 76.
[8] Muhammad Husain Al-Zahabi, al-Taafsir wa al-Mufassirun, Maktabah wahbah, Kairo, Juz 2, h.229
[9] Ibnu Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis, Kurdisan. H.231
Read more ...
Designed By VungTauZ.Com